Burger Hitam dari Arang

Sabtu, 07 Februari 2015

PERTAMA tahu burger berwarna hitam adalah saat melihat iklan Burger King Jepang yang berjudul Ninja di penghujung tahun 2013. Sempat penasaran dan ingin tahu sensasinya ketika hidangan itu disajikan di depan mata saya. Akhirnya harapan itu terwujud meski tidak harus mahal-mahal ke Jepang. 

Saya mencobanya di Surabaya. Tepatnya di Tootoomoo Patisserie yang berada di Jalan Imam Bonjol Nomor 38, Surabaya, Jawa Timur. 

Sebetulnya menu ini saya ulas karena faktor tidak sengaja. Tadinya, saya ke Tootoomoo sebetulnya ingin mencicip aneka kue dan pudding yang sedang tren. Dengan persiapan perut kenyang, saya menuju Tootoomoo untuk mencicipi kue. 

Tapi, tunggu, saat memilih kue di etalase, ada hal yang menarik perhatian yaitu catatan menu dadakan. Berupa kertas dengan tulisan tangan yang seadanya. Kertas itu bagai itik di tengah kawanan angsa. Di bagian paling bawah ada tulisan "Charcoal Burger".

“Apa ini?”, tanya saya. “Ini burger yang warnanya hitam. Hitamnya dibuat dari arang”, kata Ita yang ternyata adalah pemilik dari Tootoomoo.

Sambil menunggu pesanan burger tiba, mari kita seruput dulu Gryphon Tea. Apapun rasanya tak pernah mengecewakan. Jangan bingung memilih rasa, karena rasa apa saja enak. Wangi dan manis alami teh tanpa tambahan gula. Sepoci kenikmatan di sore hari.

Dan, ini dia Charcoal Burger. Benar-benar tak sabar untuk segera menyantap. Bagi saya pribadi, roti hitam ini justru membangkitkan gairah mata yang tembus ke perut. Rotinya kokoh renyah namun empuk dan tidak seret di tenggorokan. 

Inilah pengalaman pertama saya menikmati burger arang. Yang jelas roti "bun" memiliki rasa dan tekstur yang berbeda dari roti burger biasa. “Bun-nya home made, bikin sendiri," jelas Ita lagi.

Soal isiannya? Tak perlu ditanya, ini kombinasi yang cerdas. Penambahan alpukat pada burger benar-benar membuat tekstur secara keseluruhan terasa meleleh di lidah. Daging burger atau patty pun beraroma daging segar dengan kualitas prima. Lumer di lidah membekas di hati. (Catur Guna Yuyun Ang)

Warung di Puncak Gunung

MAGETAN, KOMPAS.com - Pagi ini, tepatnya hari ke 20 di bulan Januari 2015, angin disertai kabut berembus kencang di pintu masuk Gunung Lawu, Cemoro Sewu, Magetan, Jawa Timur. Seusai sarapan, kaki yang sudah terbalut sepatu langsung dipaksakan untuk menjejaki jalan setapak yang tersusun dari batu-batu berwarna abu-abu, meski pun saat itu angin dan kabut masih bertiup cukup kencang.

Untuk menuju puncak Gunung Lawu via Cemoro Sewu, para pendaki harus melewati 5 pos atau shelter. Langkah kecil kaki melawan gravitasi terus menapaki bebatuan vulkanik lebih dari 5 jam perjalanan menembus awan. Hampir tidak ada tanah yang diinjak. Rasa lelah di kaki karena harus menahan beban ransel di pundak belum bisa hilang meski pos 5 sudah dicapai.

Setelah melewati mata air Sendang Drajat, tinggal menapaki jalan datar mengular sekira 300 meter maka pendaki akan tiba di Hargo Dalem. Hargo Dalem terletak pada ketinggian 3.150 meter di atas permukaan laut (mdpl) atau 115 meter di bawah puncak Hargo Dumilah.

Setelah bersusah payah menuju tempat ini, lupakan sejenak niat untuk menuju puncak tertinggi. Lebih baik menikmati minuman hangat atau makanan sederhana di warung tertinggi di Indonesia. Warung milik Markiyem atau yang akrab disapa Mbok Yem di puncak Gunung Lawu ini sudah terkenal di kalangan pendaki gunung.

Di warung sederhana ini kita bisa memesan minuman panas penolak dingin seperti teh, kopi atau wedang jahe. Kalau mau makan bisa memesan menu sederhana nasi pecel, telor ceplok dan mie instan. Jangan khawatir soal harga, meskipun lokasinya berada di puncak gunung yang tinggi, Mbok Yem ogah mematok harga tinggi.

Sebagai contoh, satu gelas teh manis panas hanya dibanderol dengah harga Rp 3.000. Cukup murah tentunya jika dibandingkan dengan usaha yang dikeluarkan menuju puncak Gunung Lawu.

Apalagi yang hendak di cari? Warung ini terbilang cukup mewah untuk pendaki. Bahkan, Mbok Yem menawarkan fasilitas gratis untuk para konsumennya yang kebanyakan adalah peziarah. Maklum saja, Gunung Lawu masih menjadi salah satu gunung yang dikeramatkan oleh Keraton Surakarta.

Pendaki tidak perlu lagi berat-berat membawa tenda di dalam ransel. Pasalnya, cukup dengan berbelanja di warung Mbok Yem, gubuk dari kayu sederhana beratap terpal warna merah yang terlindung dari angin gunung sudah bisa ditempati untuk beristirahat.

Tidak hanya itu saja, pendaki juga bisa menghangatkan tubuh di depan perapian. "Ya terserah mau berapa lama tidur disini silakan. Saya tidak pernah narik bayaran," kata Mbok Yem sambil berjemur di pelataran halaman warungnya.

Masih ada lagi yang diberikan Mbok Yem secara gratis yakni toilet. Lagi-lagi tidak mewah, tapi toilet yang letaknya di bawah warung ini terbilang bersih dan tidak mengeluarkan bau. Di restoran atau lokasi wisata manapun yang menyajikan pemandangan pegunungan pasti memiliki nilai jual tinggi. Tapi tidak di Warung Mbok Yem.

Sedikit saran, saat sore hari, setelah memesan minuman panas yang tidak lebih dari Rp 5.000, anda tinggal duduk di bangku yang ada di halaman warung. Segelas minuman panas itu akan semakin nikmat sambil memandang cakrawala dan puncak-puncak gunung lainnya menerobos awan.

Tercatat sudah 25 tahun Warung Mbok Yem melayani pendaki dan peziarah. Tidak ada keluhan dari dia atau putranya yang setia menemani. Beberapa tahun ke belakang, Mbok Yem tidak pernah lagi turun gunung. Untuk berbelanja kebutuhan warung kini sudah di ambil alih oleh anaknya. "(Gunung) Lawu tidak pernah sepi," ujarnya.

Kopi Gayo, Inkonsistensi Rasa

Semenjak pulang dari Aceh akhir November tahun lalu, hari-hari saya dengan indah diisi oleh seruputan kopi gayo yang nikmat itu. Setidaknya empat cangkir kopi saya tenggak tiap harinya, pada agi, siang, sore, dan malam hari.

Gayo, ya hanya kopi gayo yang saya minum saban harinya. Alasan pertama, karena perbendaharaan minum kopi saya memang masih minim, hanya kopi gayo lah yang saya kenal dan saya punya. Sementara kopi-kopi lainnya hanya numpang lewat saja jika saya pergi ke warung kopi atau kafe. Pernah saya minum kopi toraja, bajawa kopi, kopi papua, kopi pagaralam, kopi bali, kopi sidikalang, dan beberapa lainnya.

Entah karena terprovokasi oleh penyair Fikar W Eda yang asal Aceh, atau teryakinkan oleh seorang peneliti kopi dan coklat asal Jember bernama Yusianto, atau tersugesti oleh promosi Ikra yang pemilik kilang kopi tertua di Takengon bernama Aman Kuba, akhirnya--untuk sementara ini--saya memutuskan untuk hanya menikmati kopi arabica gayo.

Nah, marilah kita telisik sisik melik mengenai kopi gayo yang informasinya saya dapat dari ketiga kawan saya di atas.

Kopi Gayo merupakan salah satu komoditi unggulan yang berasal dari Dataran Tinggi Gayo. Perkebunan Kopi yang telah dikembangkan sejak tahun 1908 ini tumbuh subur di Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah. Kedua daerah yang berada di ketinggian 1200 m dari permukaan laut tersebut memiliki perkebunan kopi terluas di Indonesia yaitu dengan luas sekitar 81.000 ha. Masing-masing 42.000 ha berada di Kabupaten Bener Meriah dan selebihnya 39.000 ha di Kabupaten Aceh Tengah.

Gayo sendiri merupakan nama Suku Asli yang mendiami wilayah ini. Mayoritas masyarakat Gayo berprofesi sebagai petani Kopi. Varietas Arabica mendominasi jenis kopi yang dikembangkan oleh para petani Kopi Gayo. Produksi Kopi Arabica yang dihasilkan dari Tanah Gayo merupakan yang terbesar di Asia

Kopi Gayo merupakan salah satu kopi khas Nusantara asal Aceh yang cukup banyak digemari oleh berbagai kalangan di dunia. Kopi Gayo memiliki aroma dan rasa yang sangat khas. Kebanyakan kopi yang ada, rasa pahitnya masih tertinggal di lidah kita, namun tidak demikian pada kopi Gayo. Rasa pahit hampir tidak terasa pada kopi ini. Cita rasa kopi Gayo yang asli terdapat pada aroma kopi yang harum dan rasa gurih hampir tidak pahit. Bahkan ada juga yang berpendapat bahwa rasa kopi Gayo melebihi cita rasa kopi Blue Mountain yang berasal dari Jamaika. Kopi Gayo Aceh Gayo dihasilkan dari perkebunan rakyat di dataran tinggi Gayo, Aceh Tengah. Di daerah tersebut kopi ditanam dengan cara organik tanpa bahan kimia sehingga kopi ini juga dikenal sebagai kopi hijau (ramah lingkungan). Kopi Gayo disebut-sebut sebagai kopi organik terbaik di dunia.

Menurut Ikra, keunggulan rasa kopi gayo adalah inkonsistensi, mewakili rasa kopi di seluruh dunia yang disebabkan karena kontur tanah, ketinggian, dan jenis kopi.

Kopi yang ditanam di Tanah Gayo adalah kopi arabica, sebuah varietas kopi yang belakangan sangat masif perkembangannnya di Indonesia. Dahulu, kata penyair Fikar, masyarakat kita ditipu oleh penjajah Belanda yang mengatakan bahwa kopi arabica hanya untuk kalangan bangsawan, sementara kopi robusta unyuk rakyat. Maka sejak itulah rakyat kebanyakan hanya mengenal kopi robusta, sedang kopi arabica diekspor ke luar negeri untuk dinikmati para "bangsawan" Eropa.

Sekarang, setelah masyarakat mulai mengenal dengan baik kenikmatan kopi Arabica, perkembangan kopi ini pun sangat pesat yang ditengarai oleh berkurangnya volume ekspor dan meningkatnya kebutuhan kopi dalam negeri dari waktu ke waktu.

Rasa kopi arabica yang ringan karena konon kafeinnya jauh lebih kecil dibanding robusta, menjadi penyebab mereka yang kerap bermasalah dengan asam lambung setelah minum kopi, memilih kopi arabica sebagai teman santai di pagi atau sore hari.

Mernurut Bupati Aceh Tengah, Nasaruddin, kopi asal dataran tinggi Tanah Gayo, laku keras di 17 negara; di antaranya Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Belanda, dan Inggris.

Hal itu dibenarkan oleh Yusianto, 50, peneliti dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jembar saat ditemui di Simposium Kopi Internasional yang berkwngsung di Banda Aceh, 19-21 November 2014 lalu. Yusianto mengemukakan, tak heran jika kopi gayo dimninati oleh masyarakat luar, karena citarasa kopi gayo memang salah satu kopi terbaik di dunia.

Pendapat Yusianto tentu tidak main-main, karena, selain sebagai peneliti, dia juga bekerja sebagai pencicip. Yus mengatakan, dirinya sudah mencicipi semua kopi yang ada di Indonesia, mulai dari Aceh sampai Wamena di Papua.

Kembali ke kopi gayo. Krakteristik kopi arabica gayo itu memiliki aroma humus, rasanya lebih ringan, dan ada aroma gula, itulah yang membuat kopi gayo unggul. Keistimewaan lainnya, kopi gayo memiliki citarasa yang bervariasi yang disebabkan oleh letak tanah, kontur tanah, musim, kadar air, serapan sinar matahari, dan juga perawatan. Menurut Ikra, bisa saja, kopi yang tumbuh di ladang yang letaknya berdampingan, citarasanya berbeda. Maklumlah, karena perkebunan kopi di Gayo adalah perkebunan rakyat.

Berbeda dengan Brazil, mereka menanam secara massal, karena perkebunan di sana dikuasai oleh negara, maka tanaman kopi pun diperlakukan sama rata, tidak ada perlakuan khusus. Di Gayo lahan kopinya terluas sedunia yang dimiliki oleh rakyat.

Setidaknya, dalam satu tahun dihasilkan sekira 50 ribu ton. 90 persen di antaranya diekspor. Untuk dalam negeri, kopi gato paling banyak dikirim ke Jakarta, Medan, Riau, Batam, Lombok, Bali, Kaltim. Untuk negara tujuan ekspor adalah, Singapura, Sanghai, Taiwan, Kualalumpur, Thailand. Sementara untuk kopi luwak peminat terbesarnya adalah negara Jerman dan Belanda. Untuk konsumsi dalam negeri berupa bubuk kopi, sedangkan untuk konsumsi luar negeri masih dalam bentuk bean (biji).

Gayo adalah negeri kopi. Sejauh mata memandang adalah tanaman kopi. Maka datanglah ke Tanah Gayo pada pertengahan tahun, saat tanaman kopi mulai berbunga, tanah perbukitan itu pun dipenuhi warna putih kembang kopi yang harum baunya.

Gayo adalah denyut Aceh, karena terletak di tengah-tengah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Gayo merupakan daerah sentral bagi daerah-daerah sekitarnya seperti Aceh Utara, Aceh Barat, Pidie, Aceh Timur dan Sumatera Utara. Terletak di tengah-tengah pegunungan daerah Aceh yang membujur dari utara ke bagian tenggara sepanjang bukit barisan bagian ujung pulau Sumatera.

Gayo adalah juga keindahan yang mewarnai bumi Aceh. Sebab dari Gayo inilah tari Saman dan seni bertutur yang disebut Didong berpusat, di samping tari Bines, tari Guel, tari Munalu, Sebuku /Pepongoten (seni meratap dalam bentuk prosa), guru didong, dan melengkan (seni berpidato berdasarkan adat).

Barangkali, lantaran itu semua, tiap pagi, siang, senja dan malam hari, saya masih setia mencecap kopi gayo. Tak cuma rasa nikmat yang saya rasakan, tetapi ada juga rupa-rupa keindahan yang saya bayangkan. Di antaranya, bunga kopi, tari saman, didong, dan... ah... srupuuutttt....

@JodhiY
 

© 2014 PERCOBAAN - All Rights Reserved | Supported by : Blogger | Presented by : Info Sriwijaya FC | Desain by : Andrean Wahyu Effendy