Gunung

Burger Hitam dari Arang

Sabtu, 07 Februari 2015

PERTAMA tahu burger berwarna hitam adalah saat melihat iklan Burger King Jepang yang berjudul Ninja di penghujung tahun 2013. Sempat penasaran dan ingin tahu sensasinya ketika hidangan itu disajikan di depan mata saya. Akhirnya harapan itu terwujud meski tidak harus mahal-mahal ke Jepang. 

Saya mencobanya di Surabaya. Tepatnya di Tootoomoo Patisserie yang berada di Jalan Imam Bonjol Nomor 38, Surabaya, Jawa Timur. 

Sebetulnya menu ini saya ulas karena faktor tidak sengaja. Tadinya, saya ke Tootoomoo sebetulnya ingin mencicip aneka kue dan pudding yang sedang tren. Dengan persiapan perut kenyang, saya menuju Tootoomoo untuk mencicipi kue. 

Tapi, tunggu, saat memilih kue di etalase, ada hal yang menarik perhatian yaitu catatan menu dadakan. Berupa kertas dengan tulisan tangan yang seadanya. Kertas itu bagai itik di tengah kawanan angsa. Di bagian paling bawah ada tulisan "Charcoal Burger".

“Apa ini?”, tanya saya. “Ini burger yang warnanya hitam. Hitamnya dibuat dari arang”, kata Ita yang ternyata adalah pemilik dari Tootoomoo.

Sambil menunggu pesanan burger tiba, mari kita seruput dulu Gryphon Tea. Apapun rasanya tak pernah mengecewakan. Jangan bingung memilih rasa, karena rasa apa saja enak. Wangi dan manis alami teh tanpa tambahan gula. Sepoci kenikmatan di sore hari.

Dan, ini dia Charcoal Burger. Benar-benar tak sabar untuk segera menyantap. Bagi saya pribadi, roti hitam ini justru membangkitkan gairah mata yang tembus ke perut. Rotinya kokoh renyah namun empuk dan tidak seret di tenggorokan. 

Inilah pengalaman pertama saya menikmati burger arang. Yang jelas roti "bun" memiliki rasa dan tekstur yang berbeda dari roti burger biasa. “Bun-nya home made, bikin sendiri," jelas Ita lagi.

Soal isiannya? Tak perlu ditanya, ini kombinasi yang cerdas. Penambahan alpukat pada burger benar-benar membuat tekstur secara keseluruhan terasa meleleh di lidah. Daging burger atau patty pun beraroma daging segar dengan kualitas prima. Lumer di lidah membekas di hati. (Catur Guna Yuyun Ang)

Warung di Puncak Gunung

MAGETAN, KOMPAS.com - Pagi ini, tepatnya hari ke 20 di bulan Januari 2015, angin disertai kabut berembus kencang di pintu masuk Gunung Lawu, Cemoro Sewu, Magetan, Jawa Timur. Seusai sarapan, kaki yang sudah terbalut sepatu langsung dipaksakan untuk menjejaki jalan setapak yang tersusun dari batu-batu berwarna abu-abu, meski pun saat itu angin dan kabut masih bertiup cukup kencang.

Untuk menuju puncak Gunung Lawu via Cemoro Sewu, para pendaki harus melewati 5 pos atau shelter. Langkah kecil kaki melawan gravitasi terus menapaki bebatuan vulkanik lebih dari 5 jam perjalanan menembus awan. Hampir tidak ada tanah yang diinjak. Rasa lelah di kaki karena harus menahan beban ransel di pundak belum bisa hilang meski pos 5 sudah dicapai.

Setelah melewati mata air Sendang Drajat, tinggal menapaki jalan datar mengular sekira 300 meter maka pendaki akan tiba di Hargo Dalem. Hargo Dalem terletak pada ketinggian 3.150 meter di atas permukaan laut (mdpl) atau 115 meter di bawah puncak Hargo Dumilah.

Setelah bersusah payah menuju tempat ini, lupakan sejenak niat untuk menuju puncak tertinggi. Lebih baik menikmati minuman hangat atau makanan sederhana di warung tertinggi di Indonesia. Warung milik Markiyem atau yang akrab disapa Mbok Yem di puncak Gunung Lawu ini sudah terkenal di kalangan pendaki gunung.

Di warung sederhana ini kita bisa memesan minuman panas penolak dingin seperti teh, kopi atau wedang jahe. Kalau mau makan bisa memesan menu sederhana nasi pecel, telor ceplok dan mie instan. Jangan khawatir soal harga, meskipun lokasinya berada di puncak gunung yang tinggi, Mbok Yem ogah mematok harga tinggi.

Sebagai contoh, satu gelas teh manis panas hanya dibanderol dengah harga Rp 3.000. Cukup murah tentunya jika dibandingkan dengan usaha yang dikeluarkan menuju puncak Gunung Lawu.

Apalagi yang hendak di cari? Warung ini terbilang cukup mewah untuk pendaki. Bahkan, Mbok Yem menawarkan fasilitas gratis untuk para konsumennya yang kebanyakan adalah peziarah. Maklum saja, Gunung Lawu masih menjadi salah satu gunung yang dikeramatkan oleh Keraton Surakarta.

Pendaki tidak perlu lagi berat-berat membawa tenda di dalam ransel. Pasalnya, cukup dengan berbelanja di warung Mbok Yem, gubuk dari kayu sederhana beratap terpal warna merah yang terlindung dari angin gunung sudah bisa ditempati untuk beristirahat.

Tidak hanya itu saja, pendaki juga bisa menghangatkan tubuh di depan perapian. "Ya terserah mau berapa lama tidur disini silakan. Saya tidak pernah narik bayaran," kata Mbok Yem sambil berjemur di pelataran halaman warungnya.

Masih ada lagi yang diberikan Mbok Yem secara gratis yakni toilet. Lagi-lagi tidak mewah, tapi toilet yang letaknya di bawah warung ini terbilang bersih dan tidak mengeluarkan bau. Di restoran atau lokasi wisata manapun yang menyajikan pemandangan pegunungan pasti memiliki nilai jual tinggi. Tapi tidak di Warung Mbok Yem.

Sedikit saran, saat sore hari, setelah memesan minuman panas yang tidak lebih dari Rp 5.000, anda tinggal duduk di bangku yang ada di halaman warung. Segelas minuman panas itu akan semakin nikmat sambil memandang cakrawala dan puncak-puncak gunung lainnya menerobos awan.

Tercatat sudah 25 tahun Warung Mbok Yem melayani pendaki dan peziarah. Tidak ada keluhan dari dia atau putranya yang setia menemani. Beberapa tahun ke belakang, Mbok Yem tidak pernah lagi turun gunung. Untuk berbelanja kebutuhan warung kini sudah di ambil alih oleh anaknya. "(Gunung) Lawu tidak pernah sepi," ujarnya.

Kopi Gayo, Inkonsistensi Rasa

Semenjak pulang dari Aceh akhir November tahun lalu, hari-hari saya dengan indah diisi oleh seruputan kopi gayo yang nikmat itu. Setidaknya empat cangkir kopi saya tenggak tiap harinya, pada agi, siang, sore, dan malam hari.

Gayo, ya hanya kopi gayo yang saya minum saban harinya. Alasan pertama, karena perbendaharaan minum kopi saya memang masih minim, hanya kopi gayo lah yang saya kenal dan saya punya. Sementara kopi-kopi lainnya hanya numpang lewat saja jika saya pergi ke warung kopi atau kafe. Pernah saya minum kopi toraja, bajawa kopi, kopi papua, kopi pagaralam, kopi bali, kopi sidikalang, dan beberapa lainnya.

Entah karena terprovokasi oleh penyair Fikar W Eda yang asal Aceh, atau teryakinkan oleh seorang peneliti kopi dan coklat asal Jember bernama Yusianto, atau tersugesti oleh promosi Ikra yang pemilik kilang kopi tertua di Takengon bernama Aman Kuba, akhirnya--untuk sementara ini--saya memutuskan untuk hanya menikmati kopi arabica gayo.

Nah, marilah kita telisik sisik melik mengenai kopi gayo yang informasinya saya dapat dari ketiga kawan saya di atas.

Kopi Gayo merupakan salah satu komoditi unggulan yang berasal dari Dataran Tinggi Gayo. Perkebunan Kopi yang telah dikembangkan sejak tahun 1908 ini tumbuh subur di Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah. Kedua daerah yang berada di ketinggian 1200 m dari permukaan laut tersebut memiliki perkebunan kopi terluas di Indonesia yaitu dengan luas sekitar 81.000 ha. Masing-masing 42.000 ha berada di Kabupaten Bener Meriah dan selebihnya 39.000 ha di Kabupaten Aceh Tengah.

Gayo sendiri merupakan nama Suku Asli yang mendiami wilayah ini. Mayoritas masyarakat Gayo berprofesi sebagai petani Kopi. Varietas Arabica mendominasi jenis kopi yang dikembangkan oleh para petani Kopi Gayo. Produksi Kopi Arabica yang dihasilkan dari Tanah Gayo merupakan yang terbesar di Asia

Kopi Gayo merupakan salah satu kopi khas Nusantara asal Aceh yang cukup banyak digemari oleh berbagai kalangan di dunia. Kopi Gayo memiliki aroma dan rasa yang sangat khas. Kebanyakan kopi yang ada, rasa pahitnya masih tertinggal di lidah kita, namun tidak demikian pada kopi Gayo. Rasa pahit hampir tidak terasa pada kopi ini. Cita rasa kopi Gayo yang asli terdapat pada aroma kopi yang harum dan rasa gurih hampir tidak pahit. Bahkan ada juga yang berpendapat bahwa rasa kopi Gayo melebihi cita rasa kopi Blue Mountain yang berasal dari Jamaika. Kopi Gayo Aceh Gayo dihasilkan dari perkebunan rakyat di dataran tinggi Gayo, Aceh Tengah. Di daerah tersebut kopi ditanam dengan cara organik tanpa bahan kimia sehingga kopi ini juga dikenal sebagai kopi hijau (ramah lingkungan). Kopi Gayo disebut-sebut sebagai kopi organik terbaik di dunia.

Menurut Ikra, keunggulan rasa kopi gayo adalah inkonsistensi, mewakili rasa kopi di seluruh dunia yang disebabkan karena kontur tanah, ketinggian, dan jenis kopi.

Kopi yang ditanam di Tanah Gayo adalah kopi arabica, sebuah varietas kopi yang belakangan sangat masif perkembangannnya di Indonesia. Dahulu, kata penyair Fikar, masyarakat kita ditipu oleh penjajah Belanda yang mengatakan bahwa kopi arabica hanya untuk kalangan bangsawan, sementara kopi robusta unyuk rakyat. Maka sejak itulah rakyat kebanyakan hanya mengenal kopi robusta, sedang kopi arabica diekspor ke luar negeri untuk dinikmati para "bangsawan" Eropa.

Sekarang, setelah masyarakat mulai mengenal dengan baik kenikmatan kopi Arabica, perkembangan kopi ini pun sangat pesat yang ditengarai oleh berkurangnya volume ekspor dan meningkatnya kebutuhan kopi dalam negeri dari waktu ke waktu.

Rasa kopi arabica yang ringan karena konon kafeinnya jauh lebih kecil dibanding robusta, menjadi penyebab mereka yang kerap bermasalah dengan asam lambung setelah minum kopi, memilih kopi arabica sebagai teman santai di pagi atau sore hari.

Mernurut Bupati Aceh Tengah, Nasaruddin, kopi asal dataran tinggi Tanah Gayo, laku keras di 17 negara; di antaranya Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Belanda, dan Inggris.

Hal itu dibenarkan oleh Yusianto, 50, peneliti dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jembar saat ditemui di Simposium Kopi Internasional yang berkwngsung di Banda Aceh, 19-21 November 2014 lalu. Yusianto mengemukakan, tak heran jika kopi gayo dimninati oleh masyarakat luar, karena citarasa kopi gayo memang salah satu kopi terbaik di dunia.

Pendapat Yusianto tentu tidak main-main, karena, selain sebagai peneliti, dia juga bekerja sebagai pencicip. Yus mengatakan, dirinya sudah mencicipi semua kopi yang ada di Indonesia, mulai dari Aceh sampai Wamena di Papua.

Kembali ke kopi gayo. Krakteristik kopi arabica gayo itu memiliki aroma humus, rasanya lebih ringan, dan ada aroma gula, itulah yang membuat kopi gayo unggul. Keistimewaan lainnya, kopi gayo memiliki citarasa yang bervariasi yang disebabkan oleh letak tanah, kontur tanah, musim, kadar air, serapan sinar matahari, dan juga perawatan. Menurut Ikra, bisa saja, kopi yang tumbuh di ladang yang letaknya berdampingan, citarasanya berbeda. Maklumlah, karena perkebunan kopi di Gayo adalah perkebunan rakyat.

Berbeda dengan Brazil, mereka menanam secara massal, karena perkebunan di sana dikuasai oleh negara, maka tanaman kopi pun diperlakukan sama rata, tidak ada perlakuan khusus. Di Gayo lahan kopinya terluas sedunia yang dimiliki oleh rakyat.

Setidaknya, dalam satu tahun dihasilkan sekira 50 ribu ton. 90 persen di antaranya diekspor. Untuk dalam negeri, kopi gato paling banyak dikirim ke Jakarta, Medan, Riau, Batam, Lombok, Bali, Kaltim. Untuk negara tujuan ekspor adalah, Singapura, Sanghai, Taiwan, Kualalumpur, Thailand. Sementara untuk kopi luwak peminat terbesarnya adalah negara Jerman dan Belanda. Untuk konsumsi dalam negeri berupa bubuk kopi, sedangkan untuk konsumsi luar negeri masih dalam bentuk bean (biji).

Gayo adalah negeri kopi. Sejauh mata memandang adalah tanaman kopi. Maka datanglah ke Tanah Gayo pada pertengahan tahun, saat tanaman kopi mulai berbunga, tanah perbukitan itu pun dipenuhi warna putih kembang kopi yang harum baunya.

Gayo adalah denyut Aceh, karena terletak di tengah-tengah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Gayo merupakan daerah sentral bagi daerah-daerah sekitarnya seperti Aceh Utara, Aceh Barat, Pidie, Aceh Timur dan Sumatera Utara. Terletak di tengah-tengah pegunungan daerah Aceh yang membujur dari utara ke bagian tenggara sepanjang bukit barisan bagian ujung pulau Sumatera.

Gayo adalah juga keindahan yang mewarnai bumi Aceh. Sebab dari Gayo inilah tari Saman dan seni bertutur yang disebut Didong berpusat, di samping tari Bines, tari Guel, tari Munalu, Sebuku /Pepongoten (seni meratap dalam bentuk prosa), guru didong, dan melengkan (seni berpidato berdasarkan adat).

Barangkali, lantaran itu semua, tiap pagi, siang, senja dan malam hari, saya masih setia mencecap kopi gayo. Tak cuma rasa nikmat yang saya rasakan, tetapi ada juga rupa-rupa keindahan yang saya bayangkan. Di antaranya, bunga kopi, tari saman, didong, dan... ah... srupuuutttt....

@JodhiY

Pulau Samosir, Unik dan Disukai Turis

Selasa, 17 Desember 2013

Pulau Samosir di Sumatera Utara adalah pulau yang sangat unik karena merupakan pulau vulkanik yang berada di tengah Danau Toba. Ketinggiannya 1.000 meter di atas permukaan laut. Inilah yang membuat pulau ini menjadi perhatian turis domestik maupun asing.


Menuju Pulau Samosir bisa dilakukan pagi hari dengan membeli tiket feri seharga Rp 10.000 per orang. Dan, sambil menunggu keberangkatan kapal, kita bisa hunting foto di sekitar danau, mengabadikan keindahan dan luasnya Danau Toba.

Selain sebagai tempat wisata, ternyata danau ini menjadi tumpuan hidup masyarakat sekitarnya. Mereka menggunakan air Danau Toba sebagai mata air utama dalam kehidupan sehari-hari. Ada dua tipe feri yang melayani rute ke Pulau Samosir, yaitu feri yang mengangkut penumpang saja dan feri yang mengangkut kendaraan roda empat.


Jika menggunakan mobil, Anda akan menumpang feri jenis kedua (yang mengangkut kendaraan beroda empat). Selama menyeberang, kita akan disuguhi pemandangan alam danau yang indah, langit biru, dan udara yang sejuk. Cuaca Danau Toba bahkan bisa menghipnotis pengunjung sehingga betah berlama-lama di sini.

Mobil adalah alat transportasi yang sangat penting bagi keluarga yang ingin berkeliling pulau. Di Samosir memang tidak ada angkutan umum. Anda harus menyewa kendaraan berupa sepeda atau sepeda motor jika ingin berjalan-jalan. Ongkos sewa motor antara Rp 70.000 hingga Rp 80.000 per hari.

Di pulau ini juga terdapat beberapa penginapan losmen yang sebagian tidak memiliki nomor telepon. Untuk menginap, kita bisa langsung memesan penginapan secara go show. Jika penginapan sudah penuh, kita bisa meminta tolong penduduk sekitar atau pemilik hotel untuk mencarikan rumah penduduk yang bisa disewakan sebagai tempat menginap. Tarif losmen sekitar Rp 100.000 – Rp 150.000. Wisatawan memang jarang menginap di Samosir.

Namun, jika bepergian secara backpacker, sesampainya di Pulau Samosir kita bisa menyewa ojek atau bermalam di sana.


Uniknya, pulau ini memiliki obyek wisata danau. Terdapat dua danau di pulau yang berada di tengah Danau Toba, yaitu Danau Sidihoni dan Aek Natonang. Selain itu, pulau ini juga menawarkan banyak keunikan budaya dan sejarah lainnya. Misalnya saja Pusuk Buhit yang dipercaya sebagai tempat asal suku Batak.

Menariknya, di sini terdapat panggung batu. Untuk mendapatkan penjelasan tentang panggung batu, kita bisa menyewa penduduk sekitar sebagai pemandu. Setelah puas mendengarkan kisah tersebut, kita pun bisa berbelanja suvenir, berupa ukiran kayu dan kain tradisional di kios-kios cenderamata.

Obyek wisata lain yang tidak kalah menarik adalah pemandian air panas dan Museum Adat Budaya Batak. Museum ini cukup unik karena berada di ruang terbuka dan di sana ada banyak batu peninggalan raja yang konon asal mula orang Batak. Penjaga museum pun fasih menjelaskan sejarah masa lalu.

Di Pulau Samosir yang konon dikenal sebagai tempat asal mula orang Batak ini menyimpan banyak peninggalan Budaya masa lampau.

Kampung Siallagan

Kampung ini terletak di Desa Ambarita Pulau Samosir. Perkampungan yang mirip benteng ini lokasinya berdekatan dengan Danau Toba dan cukup banyak dikunjungi wisatawan, baik nusantara maupun mancanegara.


Anda akan terkagum-kagum mengamati bagaimana perkampungan ini dikelilingi batu-batu besar disusun bertingkat secara rapi. Dulunya tembok tersebut dilengkapi bambu dan benteng ini berfungsi untuk menjaga perkampungan dari gangguan binatang buas maupun serangan suku lain.

Perkampungan ini dibangun pada masa Raja Laga Siallagan. Kemudian diwariskan kepada keturunan berikutnya sampai dengan sekarang. Yang unik di sini terdapat Batu Persidangan. Dinamakan Batu Parsidangan karena memang fungsinya untuk mengadili penjahat atau pelanggar hukum adat (kasus pembunuhan, pencurian, pemerkosaan, dan lainnya) atau juga untuk musuh politik dari sang raja.


Dari kisah inilah kemudian sempat menjadi sebuah stereotipe bahwa masyarakat Batak melakukan praktek kanibalisme. Ritual ini perlahan hilang setelah agama Kristen tersebar di wilayah Samosir oleh seorang pendeta asal Jerman bernama Dr. Ingwer Ludwig Nommensen pada pertengahan abad ke-19.

Raja Siallagan yang sebelumnya masih menganut agama asli Batak (Parmalim) kemudian memeluk Kristen dan tidak melanjutkan ritual kanibalisme itu lagi. Sekarang Huta Siallagan hanya berfungsi sebagai desa wisata saja untuk mengenang sejarah dan budaya salah satu suku di Tanah Batak.

Pemandu wisata ke tempat ini pastinya akan menceritakan hal ini lebih terinci dan dimaksudkan sebagai pelajaran dari bentuk tradisi di zaman dahulu dan tidak ada maksud lainnya.

Desa Suhi Suhi

Desa Suhi Suhi berada dekat dengan pelabuhan Tomok dan kota Kabupaten Samosir, yaitu Pangururan. Untuk mencapai desa ini, dibutuhkan waktu sekitar 40 menit dari Desa Tomok atau 20 menit dari Pangururan melalui jalan darat.


Tidak ada tiket masuk yang dikenakan bagi pengunjung yang ingin berwisata ke desa ini. Namun saat ini para perajin kain ulos tradisional semakin langka. Tetapi di Desa Suhi Suhi ini hampir sebagian besar perajin baik tua dan muda sedang menenun Ulos.

Di Desa ini kita bisa melihat proses penenunan kain Ulos yang terbilang rumit, dan membutuhkan banyak waktu, kesabaran dan ketelitian yang tinggi. Tidak heran kalau harga yang ditawarkan bisa mulai dari Rp 250.000 sampai Rp 5.000.000. Buat pencinta kain tradisional sangat disarankan untuk datang ke desa ini. Di sini wisatawan bisa membeli Ulos sekaligus belajar cara menenun. (BARRY KUSUMA)



SUMBER: KOMPAS

Pantai Klayar, Taman Bumi nan Eksotik



KABUPATEN Pacitan, Jawa Timur, tak hanya tersohor dengan goanya yang menawan. Daerah di ujung barat provinsi ini juga kaya akan pantai yang cantik dan eksotik seperti Pantai Klayar. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu hanyalah sedikit orang yang pernah berkunjung ke sana.

Jarum jam menunjuk hampir pukul 16.00, tetapi terik matahari masih panas menyengat kulit. Beruntung, langit berwarna biru, berpadu dengan Samudra Indonesia yang membiru di selatan Jawa Timur, sehingga sejauh mata memandang terlihat sejuk.

Hamparan pasir putih bersih seperti karpet yang digelar di tepi pantai tampak menggoda. Sulit rasanya menahan hasrat untuk tidak menjejakkan kaki. Berlari mengejar ombak sejernih kristal putih yang tak lelah menggapai pantai meski kerap terbentur batu karang.

Pantai Klayar terletak 45 kilometer ke arah barat dari Kabupaten Pacitan, tepatnya di Desa Sendang, Kecamatan Donorojo. Pantai ini bisa ditempuh dari Solo dan Yogyakarta. Perjalanan hanya memakan waktu sekitar dua jam.

Tidak ada kendaraan umum. Perjalanan mengandalkan kendaraan pribadi. Jalan beraspal, tapi banyak lubang di sana sini. Pengemudi tak boleh lalai. Jalan menuju Pantai Klayar relatif sempit, berkelok, melewati tanjakan dan turunan tajam. Kerap pandangan mata pengemudi tak bebas karena tanjakan yang dilalui hampir mencapai sudut 90 derajat.

Namun, perjalanan yang menantang itu justru dapat memacu adrenalin dan menjadi sensasi tersendiri bagi mereka yang suka petualangan. Sepanjang jalan tersaji pemandangan alam perbukitan cantik dan hijau. Suasana kehidupan pedesaan yang tradisional bersanding mesra dengan alam yang perawan sehingga bisa menyegarkan mata dan pikiran.

Penjaga Pantai Klayar, Wakimin, mengatakan, pantai ini tak pernah sepi. Selalu ada turis yang datang menikmati pantai yang menawarkan beragam pesona unik dan eksotik ini. ”Memang kalau hari biasa pengunjung tidak seramai akhir pekan atau hari libur. Namun, tidak juga sepi, selalu ada orang datang ke pantai entah berdua atau berombongan,” ujarnya.

Gugusan Batu Karang

Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kabupaten Pacitan Eny Setyowati mengatakan, pengunjung Pantai Klayar sekitar 600.000 orang per tahun. Itu meliputi 100.000 turis asing dan 500.000 wisatawan Nusantara. ”Pantai ini merupakan salah satu obyek wisata andalan di Pacitan bersama dengan Goa Gong. Kedua tempat wisata itu satu paket yang dikunjungi wisatawan,” katanya.

Pantai Klayar juga memiliki gugusan batu karang. Ini seperti taman bumi. Pengunjung yang baru pertama datang ke Klayar silakan naik ke gugusan batu karang. Ibarat gardu pandang, dari tempat itu terlihat pemandangan keseluruhan Pantai Klayar yang menawan.

Di sebelah timur terdapat sebuah laguna yang diapit gugusan batu karang. Salah satu batu karang itu berbentuk seperti patung piramida di Mesir, Sphinx. Lokasi ini kerap menjadi obyek foto pengunjung. Di area itu juga ada lubang-lubang kecil yang kerap dipenuhi air laut yang terbawa gelombang. Lubang itu mirip rumah kepiting atau hewan laut lain.

Sedikit bergeser ke kanan terlihat karang dengan lubang mirip goa atau terowongan. Karang ini terkenal dengan sebutan karang bolong, yang artinya karang berlubang. Tak jauh dari situ ada karang air mancur. Di sana selalu ada suara mirip terompet atau seruling.

Karang air mancur ini kerap disebut dengan seruling laut. Pada saat ombak besar menyapu karang, air laut akan masuk ke sela-sela batu atau celah. Air itu sekejap tampak menyusup ke bawah batu dan tenggelam. Namun, pada saat tak terduga, air akan menyembur keluar dari celah karang.

Semburannya cukup tinggi seperti air mancur. Bahkan, ketinggiannya konon mencapai 10 meter dari permukaan batu. Di saat bersamaan, keluar suara atau bunyi mirip seruling atau terompet yang mengejutkan pengunjung.

Namun, di balik pesona yang menawan, Klayar menyimpan berbagai kekurangan. Selain buruknya jalan, juga minimnya fasilitas umum dan belum ada penginapan. ”Kami akan bangun itu (fasilitas) dengan tetap menjaga lingkungan sebab Klayar adalah taman bumi yang disiapkan jadi warisan dunia,” ujar Mari Elka Pangestu.

SUMBER: KOMPAS

Ayam Taliwang yang Mengawang-awang




Berkunjung ke Lombok, tidak pas rasanya jika tidak mencicipi Ayam Taliwang. Makanan khas lokal yang satu ini menjadi wisata kuliner yang paling dicari di kota Lombok. Berbagai restoran di Lombok pun berlomba-lomba menyajikan makanan ini sebagai menu utamanya. Kompas.com pun mencicipi salah satu restoran yang menyajikan menu ayam taliwang ini.

Dari sekian banyak restoran, Rumah Makan dan Lesehan Taliwang Raya H.M. Bahran Moerad terpilih berdasarkan rekomendasi Fakhrurozi sang pemandu wisata. "Ini (restoran ayam taliwang) yang paling ramai dan yang paling enak di sini," ujar Oji saat kami akhirnya tiba di restoran itu, Jumat (13/12/2013).

Setelah beberapa menit, ayam taliwang yang sudah ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Dari rupanya saja, ayam ini sungguh menggoda selera. Warnanya hitam kecokelatan karena jenis yang kita pesan adalah ayam bakar madu. Selain itu, ada juga jenis-jenis lainnya seperti ayam pelecingan, ayam pedas manis, ayam sambal lima, ayam bakar kecap, ayam goreng biasa dan ayam goreng asam.

Kesan pertama saat mencicipi ayam ini, adalah rasa manis dan gurih yang menjejali lidah. Rasa manis, kemungkinan datang dari madu yang dibaluri ke ayam sebelum proses pemanggangan. Sementara, rasa gurih datang dari kulit ayam yang sukses dipanggang dengan pas, tidak terlalu matang hingga hangus, namun juga tidak terlalu mentah.

Rasa manis dan gurih itu pun kemudian dipadu dengan sambal serupa sambal kacang yang cukup pedas. Hasilnya, rasa manis, gurih dan pedas menyatu menjadi satu, sehingga menimbulkan kelezatan tersendiri. Rasa ayam taliwang itu pun seakan mengawang-awang di lidah dan kepala.

Selain itu, ayam taliwang ini juga terasa sangat lembut saat dikunyah. Hal tersebut, menurut Fakhrurozi wajar, karena ayam yang digunakan adalah ayam yang berumur muda. "Jadi ayam taliwang ini sebenarnya membunuh generasi ayam-ayanm yang ada di sini," canda Oji.

Sahabat ayam taliwang

Bicara soal ayam taliwang, tak tepat rasanya jika tidak juga membicarakan sahabat terbaiknya, pelecing kangkung. Pelecing juga termasuk salah satu masakan khas lombok yang banyak dicari-cari pecinta kuliner. Makanan ini adalah kangkung yang dicampur dengan bahan-bahan lainnya seperti tauge, kacang tanah, kelapa parut, dan sambal. Semua bahan tersebut diaduk menjadi satu hingga menciptakan kangkung yang rasanya jelas jauh berbeda dari masakan kangkung pada umumnya.



Tapi bukan campuran bahan itu saja rahasianya. Menurut Oji, tanaman kangkung yang digunakan juga berbeda dari tanaman kangkung pada umumnya. Kangkung jenis ini hanya bisa ditanam dan didapatkan di Lombok. Kangkung ini memiliki rasa yang lebih segar dan dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama.

Saat mencicipinya, Kompas.com menyetujui ucapan Oji. Kangkung ini terasa sangat segar saat dikunyah di mulut. Karena bentuknya yang lebih besar dan tebal, kangkung ini memiliki kandungan air yang lebih banyak sehingga sensasi segar sangat terasa. Paduannya dengan sambal yang cukup pedas pun menambah sensasi segar itu.

Es Kelapa Madu

Setelah puas menyantap ayam taliwang bakar madu, hidangan penutup pun kembali disajikan dengan madu. Lagi-lagi, hidangan ini juga merupakan suatu hidangan khas yang hanya bisa ditemukan di Lombok. Jika di daerah lain, es kelapa muda biasanya ditambahkan pemanis berupa gula merah, gula putih, atau susu putih, Lombok mempunyai cara yang berbeda. Mereka mempermanis es kelapa muda dengan madu. Dan jadilah, es kelapa muda madu. Hasilnya, madu pun dengan sukses berbaur dengan es kelapa muda.



Rasa original es kelapa muda yang memang kurang manis, sukses dipermanis dengan madu. Namun rasa manis yang dihasilkan madu juga tidak menghilangkan kesegaran yang dimiliki oleh es kelapa muda. Nah, untuk menu yang terakhir ini, Anda bisa mencoba membuatnya sendiri di rumah. Pasalnya, baik kelapa dan madu yang digunakan bukanlah kelapa dan madu khusus. Harga yang cukup terjangkau seakan menyempurnakan kelezatan ketiga makanan ini.

Ayam taliwang bisa didapat dengan harga Rp 38.000. Sementara, pelecing kangkung dihargai Rp 10.000. Jika ingin menikmatinya dengan nasi, cukup menambah Rp 8.000. Untuk es kelapa madu sebagai hidangan penutupnya, bisa didapatkan dengan harga Rp 18.000.

SUMBER: KOMPAS

Nasi Jamblang, Empal Gentong, hingga Kerupuk Udang

APA yang dicari ketika kaki sudah berpijak di Cirebon? Selain mencari batik, di kota yang terletak di pantai utara Jawa Barat ini, Anda bisa mencicipi beragam hidangan.


”Kota Udang” ini boleh disebut surga makanan. Mulai dari makanan berat hingga ringan (penganan) dengan mudah ditemukan di kedai hingga restoran. Sebut saja nasi jamblang. Begitu menyebut nasi jamblang, sebagian besar asosiasi kita tertuju pada nasi yang terbungkus daun jati dengan lauk yang beragam. Istilah ”jamblang” sendiri berasal dari nama daerah di sebelah barat Kota Cirebon, tempat asal pedagang makanan tersebut. Awalnya, nasi itu merupakan makanan untuk pekerja paksa pada zaman Belanda yang sedang membangun Jalan Daendels dari Anyer ke Panarukan (melewati Cirebon).

Selain memberi bau khas daun jati, nasi dibungkus dengan daun jati juga agar tahan lama dan tetap terasa pulen. Pori-pori pada daun diyakini membuat nasi tetap terjaga kualitasnya meskipun disimpan lebih dari sehari.

Ada juga nasi lengko. Nasi ini terdiri atas nasi putih yang diberi potongan tempe dan tahu goreng. Sebagai pelengkap, makanan ini diberi kecambah matang, potongan mentimun, dan irisan kucai. Makanan ini tidak lengkap tanpa kehadiran bawang goreng. Jangan lupa meneteskan kecap di atasnya.

Empal gentong

Tidak hanya nasi jamblang dan lengko. Empal gentong juga sangat dicari orang ketika berada di Cirebon.

Masakan ini berkuah dan serupa dengan gulai. Masakan ini berupa potongan daging sapi yang berendam dalam kuah santan. Penampilan semakin menarik jika dicampur dengan bumbu kuning. Sebagai pelengkap, makanan diberi kuah santan berwarna kuning serta ditaburi kucai dan bawang goreng. Semakin lengkap jika diberi bubuk cabai merah.

Menikmati empal gentong ini sebaiknya ditemani beberapa potong lontong. Hmm... slruup...!


Hidangan empal gentong di sebuah warung makan milik di Jalan Raya Indramayu - Cirebon, Eretan, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Empal gentong adalah kuliner berupa daging sapi dengan kuah yang merupakan makanan khas setempat yang bisa didapat di sepanjang jalur pantai utara dari Indramayu menuju Cirebon.

Dinamakan empal gentong karena dimasak di atas kayu bakar dengan menggunakan gentong. Gentong tersebut terbuat dari gerabah.

Belum puas dengan makanan ”berat” cobalah makanan yang lebih ringan. Salah satu pilihan adalah tahu gejrot. Penganan satu ini pasti sudah tidak asing lagi karena sekarang banyak dijumpai di hampir seluruh kota di Jawa Barat, Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Tahu gejrot terbuat dari tahu matang (yang digoreng) dan dipotong-potong dengan ukuran kecil. Selanjutnya, ditambah bawang merah dan cabai rawit yang dihaluskan agak kasar.

Tahu yang sudah dicampur bumbu tadi disiram kuah. Kuah ini terbuat dari rebusan gula merah dan cuka. Untuk lebih menambah eksotik masakan ini, saat penyajiannya, tahu gejrot diletakkan di atas piring kecil dari gerabah. Rasa manis, asin, dan asam membuat mata akan melek setelah menyantapnya.

Nikmati juga kelezatan docang. Dalam sejarah kuliner Cirebon, docang merupakan makanan para wali. Meskipun menggunakan bahan makanan yang murah, karena sudah diramu dengan bumbu, docang terasa sangat nikmat.

Docang merupakan sejenis lontong sayur yang terdiri atas beberapa potong lontong. Sebagai pelengkap, lontong diberi kecambah matang, daun singkong matang, dan parutan kelapa. Selanjutnya, bagian atas masakan ini disiram sayur lodeh. Makanan ini akan semakin lengkap jika diberi kerupuk. Docang sangat tepat dimakan untuk sarapan. Mumpung berada di kota pesisir yang lekat dengan udang, jangan lupa bawa pulang oleh-oleh kerupuk udang dan terasi.

SUMBER: KOMPAS
 

© 2014 PERCOBAAN - All Rights Reserved | Supported by : Blogger | Presented by : Info Sriwijaya FC | Desain by : Andrean Wahyu Effendy